Kamu, yang Mengajariku Arti Kehilangan
Setiap waktu bersamamu menjadi momen hidup yang berharga. Ingin
sekali menguliti kilas balik waktu di masa lalu. Tapi, tak kuat rasanya bila potongan ini telah sampai pada ujung
cerita yang membuatmu telah pergi, untuk selamanya. Hanya ada pilu dan sesal
yang menyelimuti kenangan indah hidup bersamamu, Dik.
Pilu, ketika telinga ini mendengar kisah perjuanganmu melawan
malaikat maut. Sesal, karena saya tak berada di sisimu, di sisa hidupmu.
Sekitar pukul 03.00 pagi hari.
Saat itu, di tempat saya menimba ilmu tahun 2007, pondok
pesantren. Tiba-tiba sosok pria membangunkanku dan berkata, “Hayo pulang, di
rumah ibu sakit.” Tanpa bertanya apa-apa saya pun keluar dari pondok. Namun,
sepanjang perjalanan kendaraan besi yang menembus udara dingin ini. Saya terus
bertanya-tanya di dalam pikiran, “Siapa yang meninggal?”
Entah pikiran macam apa pada saat itu. Pada nyatanya, saat
itu saya memang sudah berpikir demikian. Sampai di pemberhentian kedua salah
satu pondok pesantren di Jakarta menjemput sanak saudara. Tiba-tiba saja ia memeluk
saya, dan barulah di sana diberitahu bahwa sang adiklah yang meninggal.
Bendera kuning
bertengger bagai mata arah menuju rumahku
Kulihat gagak hitam terbang mengitari rumahku
Kulihat gagak hitam terbang mengitari rumahku
“Siapa yang meninggal?” entah karena pikiran itu sudah
berkecamuk di pikiran sebelumnya. Saya seperti sudah menata baik-baik dan
membangun pondasi kesedihan kuat-kuat sehingga begitu kabar pilu sampai di
telinga. Tak ada reaksi apa pun dari tubuh ini.
Air mata yang tak keluar, pikiran yang kosong. Bahkan,
seperti lega begitu pertanyaan yang sebelumnya bergentayang itu sudah terjawab.
Mendadak langit rumahku
dipenuhi terpal
Menutup langit, menghalangi cahaya matahari bertemu aspal
Menutup langit, menghalangi cahaya matahari bertemu aspal
Sekitar pukul 05.00 pagi hari.
Saya mendapati sosok lelaki dewasa yang familiar bahwa dia
adalah ayah yang sudah menunggu di depan rumah sembari duduk menerima tamu. Rupanya,
bendungan kesedihan yang sebelumnya sudah dibangun kuat-kuat roboh juga.
Kesedihan yang begitu dalam akhirnya tumpah ruah di dalam dekapan
lelaki dewasa ini. Rasanya? Tidak tahu. Saya hanya ingin menumpahkannya saja
kesedihan itu.
Lantunan ayat-ayat
kematian berkumandang
Menusuk telinga hingga ke gendang
Atmosfer duka cita terasa pekat
Memberi luka yang sangat lekat
Menusuk telinga hingga ke gendang
Atmosfer duka cita terasa pekat
Memberi luka yang sangat lekat
Saya pun masuk ke dalam rumah. Melewati keramaian sanak
saudara dan tetangga yang berkunjung. Suasana pilu rumah itu lebih bisa saya
mengerti dibanding sebelumnya yang sudah pernah terjadi, pada Nenek.
Saya pun menahan sedih untuk beberapa saat. Adik saya telah
mati, tapi tidak dengan waktu yang tak berhenti. Oleh sebab itu kewajiban solat
tetap teringat di pikiran saya. Maka, bergegaslah saya mengambil air wudhu yang
mampu menutupi kecengengan seorang anak yang baru beranjak dewasa di wajahnya. Selepas
itu, pecah sudah isak tangis yang tertahan. Dan kepada siapa saja yang ada di
samping saya pada saat itu, langsung kupeluk.
Sekitar pukul 06.00 pagi hari.
Matahari yang mulai mengintip kisah sedih itu, mungkin enggan
juga menyaksikannya. Dengan langkah yang tergopoh, saya pun berjalan menuju
raga adik yang sudah terbujur kaku. Tubuhnya bertelanjang hanya tertutup sehelasi
selimut. Saya pun akhirnya mengadu kepadanya sesambil kembali menangis, “Kenapa
pergi? Kenapa?”
Gadis kecilku tidur sangat
pulas
Hingga tak mendengar lantunan ayat-ayat kematian
Bahkan, ia tak mendengar isak tangisku yang keras
Seolah tak peduli atas apa yang kupikirkan
Hingga tak mendengar lantunan ayat-ayat kematian
Bahkan, ia tak mendengar isak tangisku yang keras
Seolah tak peduli atas apa yang kupikirkan
Di atas bale kasur, saya menyandarkan tangan dan menyelonjorkan kaki di
kolongnya. Kupegang erat-erat tangannya dengan lapisan kain hingga kulit kami
tak menyatu. Saya terus saja menangis di sampingnya. Sesekali mendengar
orang-orang yang datang mengasihani saya dengan kata yang dilontarkan dan mampu
diterima telinga ini. Iya, semua orang tahu bahwa kami sangat dekat.
Hingga akhirnya, lelahnya kesedihan membuat mata ini tertutup
juga. Dan kami pun tidur bersama dengan erat kepal tangan yang saling menggenggam.
Entah sekiitar pukul berapa.
Saya tidak lagi mengetahui waktu. Hanya jasad adik saja yang
saya pedulikan saat itu. Dan dalam tidur kami berdua, saya pun dibangunkan. Rupanya,
ini sudah waktunya untuk adik saya mandi pagi hari. Ah, sepertinya agak siang.
Gadis kecilku sudah
wangi dan bersih
Pakaian serba putih menjadi pilihan kami
Tak bisa aku menahan sedih
Melihat gadis kecilku yang ternyata sudah pergi ke tempat yang sangat tinggi
Pakaian serba putih menjadi pilihan kami
Tak bisa aku menahan sedih
Melihat gadis kecilku yang ternyata sudah pergi ke tempat yang sangat tinggi
Selesai dimandikan, ia pun langsung dikenakan pakaian serba
putih. Setelah selesai menjadi tudung pocongnya. Saya pun memberikan satu
ciuman kasih sayang dan salam perpisahan. Tak boleh ada air mata yang menetes. Sekuat
tenaga saya lemparkan senyum lirih untuk yang terakhirnya. Dan setelahnya, ia
pergi menuju tempat beristirahatnya yang terakhir.
Untuk terakhir kali
kutatap wajahmu yang cantik
Dengan tudung pocong berwarna putih
Untuk terakhir kali kukecup pipimu dengan perasaan pelik
Menahan air mata tak turun menodai ragamu yang sudah suci dan bersih
Dengan tudung pocong berwarna putih
Untuk terakhir kali kukecup pipimu dengan perasaan pelik
Menahan air mata tak turun menodai ragamu yang sudah suci dan bersih
Oh gadis kecilku
Pasti aku kan menyusulmu
Hanya menunggu waktu
Agar aku bisa bersamamu
Gadis kecilku
Jakarta, 2014.
Jakarta, 2014.
1 komentar untuk "Kamu, yang Mengajariku Arti Kehilangan "