Di Balik Ketidakberakalan Mereka
Di balik rumitnya persoalan asap pembakaran
hutan yang hingga kini tak kunjung usai. Di balik rumitnya kehidupan di dunia,
hingga kehabisan akal sehat dalam memusnahkan
asap menjadikan kinerja lalai dan terbengkalai. Di balik akal yang tidak
lagi sehat, tak teracuhkan kehidupan tak berakal di jagat. Di balik ketidakberakalan,
tak terjamah mereka yang berakal. Tersembunyilah kehidupan bak di surga, tak
terpikirkan oleh isi kepala.
***
Matahari
menerangi kehidupan kelam penuh lubang hitam. Anak-anak berlari tersenyum,
orang dewasa berjalan cepat dengan wajah masam. Memasuki sekolah penuh tawa
riang, terjebak macet yang sudah meradang. Siklus aktivitas yang selalu
terulang, namun penuh kejadian yang tidak berulang. Selalu ada kisah berbeda,
hingga setiap makhluk tak jenuh dalam siklus hidup dunia fana.
***.
Iggod,
dialah penghuni hutan tak terjamah oleh manusia berakal. Aman dari kepungan
asap -yang setiap hari mengawal. Bukan menjaga penuh kesetiaan, tapi mengintai
berujung kematian- seperti yang sedang ramai diperbincangkan. Semuanya karena
hutan ini tempat istimewa. Biasa disebut sebagai surga dunia. Bukan sekedar
katanya tanah surga, batu dan kayu jadi tanaman.
Pagi
ini Iggod akan pergi ke sekolah. Penghuni hutan lainnya pun akan ikut sekolah
tersebut. Di sana, mereka hanya cukup mendengarkan petuah-petuah atau
kisah-kisah yang diberikan. Sistem sekolah di sana tidak sama dengan manusia,
yang penuh persaingan. Menciptakan kesimpulan ada si ‘bodoh’ dan si ‘pintar’.
Hingga akhirnya, terciptalah rasa kasih sayang berbeda dari guru kepada
muridnya. Walau ada pepatah mereka mengatakan, Tidak ada orang pintar
ataupun orang bodoh. Hanya ada orang rajin dan malas yang mampu menjadikannya
pintar.
“Bu,
Yah, aku pamit sekolah,” izin Iggod.
“Nak,
jangan lupa kursi punggung untuk teman-temanmu,” tukas Ibu Iggod mengingatkan
setiap hari.
“Ya,
Bu, sudah.”
Iggod
pun bergegas pergi menuju rumah kawan-kawannya. Hutan tempat tinggal Iggod
benar-benar indah sekali. Tak bosan-bosannya ia mengelilinginya. Pohon-pohon
lebat menghampar dan menjulang tinggi. Menjadikan cahaya matahari menerobos masuk
melalui celah-celah batang dan dadaunan, menghasilkan seribu cahaya langit
turun ke permukaan tanah, indah dan hangat.
Di
hutan juga terdapat sungai-sungai kecil, tanah lembab atau tanah kering yang
diselimuti dengan daun-daun berguguran. Semilir angir, gema cuit burung
berkicau, ataupun hewan lainnya menambah suasana menjadi asri dan sejuk.
Rumah
pertama yang Iggod jumpai adalah rumah Tupis. Biasanya, keluarga Tupis selalu
menetap di sungai kecil tak jauh dari rumahnya. Pohon demi pohon ia lalui,
semak demi semak diterjang, hingga akhirnya, sampailah pada sungai kecil tempat
Tupis menetap.
“Tupis,
di mana kau?”
“Di
sini, Iggod,” teriak Tupis dari kejauhan yang nampak sedang menempel pada salah
satu batang pohon dekat sungai.
“Di
sini rupanya kau Tupis. Naiklah dengan cepat, kita masih harus menyusul yang
lainnya.” Iggod dan Tupis pun langsung bergegas menuju rumah Cacing. Letaknya
tak jauh dari sungai tempat Tupis tinggal. Ia hanya tinggal berjalan 100 meter
menyusuri pinggir sungai dan mencari tanah lembab yang sudah diberi tanda
dengan sebuah batu persegi berdiri tegap.
“Iggod,
lihat, itu Cacing di ujung batu persegi,” sahut Tupis.
“Cacing...!”
teriak Iggod sembari berlari mendekatinya.
“Iya.”
sahut Cacing.
“Naiklah,
kita akan menuju rumah Talu.” Iggod, Tupis dan Cacing pun pergi dengan lebih
cepat. Tak butuh waktu lama, tibalah mereka di rumah Talu, sebuah semak-semak.
Setelah menjemput Talu, Iggod langsung menuju rumah Ubires yang letaknya tak
jauh dari aliran air terjun.
“Ubires,
di mana kau,” teriak Iggod memanggil kaki seribu.
“Di
sini, Iggod,” teriak Ubires.
“Untung
saja Ubires sudah siap dengan seribu sepatunya. Bisa gawat aku kalau ia belum
memakai semua sepatunya,” batin Iggod berkata sambil menghela nafas dan
mengelus dada yang ternyata semua kawan-kawan di atas pundaknya juga demikian.
Akhirnya
mereka bergegas menuju sekolah. Walau harus keluar hutan jauh dari rumah. Bagi
mereka, sekolah adalah tempat terbaik menambah pengetahuan bagi mereka. Jarak
yang jauh dari rumah tak membuat mereka takut. Berani dan mandiri, itulah kata
yang mereka kenal.
Padang
rumput hijau membentang sejauh mata memandang. Dataran hijau mulai terlihat,
tak ada lagi serdadu pohon-pohon tinggi serta daun-daun lebat, pun begitu daun
kering berguguran. Sekarang yang Iggod lihat adalah padang rumput grama grasses
yang disertai beberapa aksesoris tanaman cantik. Beberapa pohon Araucaria
berdiri tegak. Taiwan beauty, Iris, Aester, semua tanaman
tersebut indah menghiasai tempat ini.
Sejenak,
dalam hitungan menit Iggod berhenti. Menarik nafas dalam-dalam dan membusungkan
dada, memejamkan mata serta menghembuskannya kembali. Begitulah cara ia
menikmati serta memanjakan indranya kepada alam buana.
Puas
menikmati alam, Iggod pun melanjutkan perjalanan menuju pohon tua besar dekat
danau. Pohon tersebut memiliki lubang besar pada bagian badan sekitar satu
meter dari tanah. Ya, lubang itu adalah tempat Prof. Galileo tinggal.
”Iggod,
lihat, itu teman-teman di bawah pohon tua,” seru Ubires penuh semangat.
Iggod
pun langsung berlari menuju pohon tua yang letaknya berada di samping danau.
Tempat ini menjadi sumber kehidupan para binatang yang tinggal di sini. Betapa
sempurnanya, tanah hijau penuh dengan rerumputan. warna-warni bunga-bunga yang
beraneka ragam menghampar seolah tersusun rapih hingga memanjakan sejauh mata
memandang. Danau yang bersih dan jernih, menjadi pelengkap untuk tempat indah
ini.
Setelah
semuanya sudah berkumpul, Prof. Galileo membacakan absen satu persatu.
Sebenarnya absen ini bukanlah hal penting mengingat sekolah ini terbuka bebas
bagi siapa saja yang ingin belajar. Prof. Galileo hanya ingin mengetahui murid-muridnya
yang rajin ke sekolah. Absen pun dibacakan,
“Atan
(Ayam Hutan).”
“Hadir.”
“Batan
(Babi hutan).”
“Hadir.”
“Bangau.”
“Hadir
Prof.”
“Cacing.”
“Saya
Prof, hadir.”
“Bomda
(Domba).”
“Ada
Prof.”
Hingga
satu-persatu semua nama terabsen. Lanjutlah Prof. Galileo menerangkan materi
dari lubang pohon tersebut. Bagaimana pun Prof. Galileo hanyalah burung hantu
yang biasa beraktifitas pada malam hari.
“Kalian
semua tahu, setiap makhluk itu selalu mempunyai kekurangan dan kelebihan. Hal
ini berlaku untuk semua makhluk hidup, manusia, hewan dan tumbuhan. Sekarang
saya ingin bertanya, apakah kalian semua merasa bersyukur telah diciptakan
sebagai binatang daripada manusia? kenapa bisa kalian tetap bersyukur?” tanya
Prof. Galileo pada murid-muridnya.
Mereka semua saling tengok kanan dan kiri,
termasuk Iggod, melihat perbedaan masing-masing. Hingga tiba-tiba Elang
mengangkat sayapnya dan berbicara,
“Saya
Prof. Saya sebagai elang sangatlah bersyukur. Walau hanya diciptakan sebagai
binatang yang tidak memiliki tangan, saya masih memiliki sayap untuk terbang.
Mata yang nyalang untuk mencari makan dari ketinggian. Kaki dengan cakar tajam
untuk mencengkram mangsa.”
“Saya
Iggod, bersyukur diciptakan sebagai anjing hutan. Banyak dari jenis kami yang
bisa membantu manusia sebagai anjing penjaga. Kami pun berteman dengan manusia.
Bahkan, tak jarang mereka sampai mengikuti ulah kami.”
“Saya
Talu, sangat bersyukur kepada Tuhan sudah menciptakan kami sebagai ulat. Sering
dikatakan lambat, perusak tanaman atau pohon manusia. Tapi lihatlah saya jika sudah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Saya
bukanlah lagi makhluk lambat dan perusak. Sayalah kupu-kupu yang menghiasi bumi
ini. Semua manusia menyukainya. Mereka senang, maka saya sudah bisa
menyenangkan hati manusia. Namun sebaliknya dengan manusia. Mereka senang
dengan kehadiran saya sebagai kupu-kupu, mereka terhibur, mereka gembira, namun
mereka membalas kegembiraan itu dengan pembunuhan. Mereka menangkap kami, menjadikan
kupu-kupu sebagai hiasan rumah ataupun gantungan kunci. Bukankah itu sesuatu
yang kejam Prof?”
“Saya
Cacing. Ketahuilah, walaupun Tuhan menciptakan saya sebagai makhluk tanpa kaki
dan tangan, setidaknya, hidupku masihlah membawa manfaat untuk kehidupan
manusia. Tanpa kami, tanah-tanah pertanian, perkebunan, dan taman-taman mereka
tidaklah menjadi subur. Kamilah yang menyuburkan tanah di muka bumi ini. Selain
itu, tidakkah kalian semua tahu, bahwa saya memiliki banyak manfaat untuk para
manusia. Saya pun sering dijadikan obat thypus bagi manusia.” jawab
Cacing.
“Oke,
Cukup.” tandas Prof. Galileo kepada Cacing dan yang lainnya.
“Saya
senang, kalian semua tetap bersyukur diciptakan sebagai binatang. Begitupun
dengan saya. Kita para binatang, walau tidak memiliki akal, setidaknya bertindak
wajar sebagai makhluk tak berakal. Tidak seperti mereka, manusia berakal tapi
bertindak seperti makhluk tak berakal. Lihat saja pembakaran hutan yang terjadi
saat ini. Tidakkah mereka berpikir bahwa ribuan nyawa umat manusia terancam
akibat pembakaran hutan. Lantas bagaimana nasib saudara-saudara kita di hutan
sana? Jelas tidak terpikirkan. Sesama makhluk berakal saja tidak dipikirkan,
apalagi kepada makhluk tak berakal seperti kita ini. Bagaimana kita menyikapi
hal ini? Pada dasarnya manusia memiliki akal, hati dan hawa nafsu. Inilah yang
menjadikan mereka sempurna. Namun, terkadang akal dan hawa nafsu manusia jauh
lebih ego dibanding hati nurani. Sehingga, mereka bersikap layaknya kita
makhluk tak berakal. Tapi perlu kalian semua tahu, tidak semua makhluk berakal
memiliki ego tinggi daripada akal dan hawa nafsunya. Masih ada manusia baik
yang membesarkan hati nuraninya. Merekalah manusia-manusia yang berusaha sekuat
tenaga menjaga bumi ini dari kehancuran. Tugas kita sebagai makhluk tak berakal
hanyalah menjalani kehidupan sebagaimana perannya masing-masing. Maka
percayakanlah pada manusia. Merekalah pemimpin muka bumi,” jelas Prof. Galileo
menerangkan.
Kelas
pun usai, Iggod dan kawan-kawan pulang ke rumah masing-masing untuk melanjutkan
aktifitasnya. Tidak ada hal yang sia-sia dari sekolah. Iggod dan lainnya pulang
dengan hati gembira dan ilmu baru.
Ciputat, 2016
Ciputat, 2016
Posting Komentar untuk "Di Balik Ketidakberakalan Mereka"