Ingatan Matiku: Oase Iman Buya Yahya
Salam sahabat
sekalian yang insya Allah selalu dalam keridhaan dan lindungan Allah SWT.
Beberapa hari
yang lalu terkirim pesan masuk dalam sebuah group whatsapp tentang Oase
Iman Buya Yahya. Pesan masuk ini saya baca seksama hingga akhirnya mendorong
saya kembali untuk mengemas tulisan yang sudah pernah saya urungkan dengan Oase Iman Buya
Yahya.
Sahabat, dijelaskan
dalam Oase Buya Yahya mengenai perenungan kita tentang perjalanan hidup ini.
Pernahkah kita merenung sejenak seberapa jauh perjalanan ini? Perjalanan yang
selama ini kita tempuh dan lalui, suka dan duka kita lahap masak-masak, di mana
pada akhir cerita terdapat dua pilihan: bahagia dan sengsara.
Bahagia adalah
mereka yang senantiasa mempersiapkan diri untuk perjalanan tersebut. Sedangkan
sengsara adalah mereka yang melalaikan persiapan dalam perjalanannya.
Perjalanan apa? Ya, perjalanan panjang setelah kehidupan dunia ini. Perjalanan
menuju alam barzah, alam kubur. Menjadi tempat penantian menuju hari
kebangkitan dan hari pembalasan kita.
Sahabat, kita
yang di dunia selama dalam perjalanan hidup mendapat banyak ujian dengan segala
macam musibah dan kekurangan, namun mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah
mati janganlah bersedih dan takut. Sungguh, kesusahan itu amatlah sebentar, 60
tahun atau 100 tahun saat hidup di dunia. Setelahnya? Berakhir sudah kesusahan
itu di akhirat kelak. Sepanjang hidup kebahagiaan di akhirat kelak, bukan lagi
puluhan tahun atau ratusan tahun, melainkan tiada akhir.
Lantas
bagaimana dengan mereka yang lalai saat di dunia ini dari bekal diri menuju
alam barzah, alam akhirat? Sungguh, tiada lain ia akan menemukan kesusahan amat
panjang. Ia peroleh hasil dosa-dosa saat di dunia, segala kebahagiaan di dunia
barulah disadari tiada arti dan berguna. Betapa ruginya orang yang hanya
mengejar kesenangan cuma dalam waktu puluhan tahun namun sengsara sepanjang
penantian di alam barzah. Ratusan, ribuan hingga kita tak pernah tahu sampai
mana akan berakhir siksaan itu.
Sahabat... Merenungkan
kematian menjadi perkara serius dalam hidup ini. Begitupun dengan saya. Dengan
cara ini, menjadi ketukan hati untuk kita tersadar akan kehidupan sesudahnya.
Sadar, kelak sebelum tidur kita tertawa lepas dan dalam linangan dosa. Namun saat
tidur tiada berdaya malaikat pencabut nyawa datang menjemput. Sadar akan setiap
yang bernyawa pasti akan mati. Kalau saja kita masih disayang Allah hingga Dia
mau menegur kita, maka beruntunglah kita. Jika tidak? Dengan cara apa dan siapa
lagi yanng akan mengingatkan kita tentang arti hidup yang sebenarnya kalau
bukan kita sendiri?
Saya teringat
sekitar hampir satu tahun yang lalu. Barangkali ini menjadi teguran dan pesan
Tuhan untuk saya atas perjalanan hidup ini. Saya sendiri sebenarnya tidak ingin
mengingatnya lagi. Namun, hal ini terus saja melekat dalam pikiran saya.
Kiranya sekitar
bulan Februari 2015 lalu, saya dipertemukan dengan sosok yang saya sendiri
tidak bisa memastikan itu ‘apa’. Saat pertemuan itu saya berpikir itu malaikat.
Ya, malaikat pencabut nyawa.
Namun, saya pun sempat berpikir bahwa di depan saya seperti sosok dosa buruk rupa yang besar dan hitam dalam
kegelapan. Tak ada sama sekali pancaran cahaya darinya atau sekitarnya. Tak ada salam, saat berjumpa. Secara tiba-tiba mengulurkan tangan, dan menyentuh tubuh saya. Sungguh
membuat saya ngeri membayangkan itu.
Kedatangannya untuk
apa? Tiada lain dalam sekian detik pikiran saya terlintas adalah mencabut
nyawa. Besar tangannya tiada ampun menyentuh tubuh saya. Dalam kegelapan dan
kengerian di hadapannya, saya berpikir akan mati saat itu juga. Pikiran saya
kalut, karena mati menjadi takdir Tuhan. Tapi, saya benar-benar tidak rela harus
mati didatangkan olehnya, jelmaan dosa.
Sahabat, besar badannya tidak bisa saya
pastikan. Suasana saat itu sangat gelap, benar-benar tidak ada pancaran cahaya
sama sekali. Saya hanya bisa merasakannya kehadirannya dalam kegelapan tersebut
serta melalui besar tangannya.
Pada pertemuan
yang tidak singkat itu, ia langsung menjulurkan tangannya dan menyentuh tubuh
bagian kiri bawah. Secara tidak disangka tangan besarnya tembus dalam badan
serta menarik ruh ini. Apa yang saya perbuat? Jelas dalam beberapa saat saya
terdiam berpikir ini sudah saatnya saya mati. Mati secara sadar bahwa saya akan
meninggalkan keluarga saya di dunia ini. Mati, sangat sadar baru saja saya
hidup, dan sekarang sosok hitam besar datang untuk mencabut nyawa saya.
Kalian tak
perlu bertanya seberapa ngerinya itu. Pastinya, pada saat itu saya hanya
berpikir sudah saatnya saya mati, betapa sakitnya sosok di hadapan saya ini
memegang ruh dan menarik dari tubuh saya.
Kami saling
tarik! Ya, secara reflek saya memegang tangan besar itu dengan kedua tangan
saya. Seberapa besarnya? Kedua telapak tangan saya masih tidak cukup untuk
saling bertemu saat memegang tangannya. Tarikannya super dasyat, sakit.....
tertarik sedikit benar-benar terasa sekali sakitnya.
Kami pun saling
tarik. Demi apapun secara tidak sadar saya benar-benar tidak merelakan kematian
itu. Saya benar-benar menolak takdir Tuhan itu. Tak lagi saya berpikir tak bisa
menolak takdir Tuhan. Pikiran saya hanya
bagaimana bisa mempertahankan ruh ini dan mengusir sosok besar dan hitam
di hadapan saya. Sahabat, sebenarnya saya pun menantang dalam hati agar makhluk
di hadapan saya ini menunjukkan sosoknya secara sempurna. Tapi, tetap saja
tidak terlihat. Hanya terlihat bayang wajah saja dalam kegelapan itu.
Pertemuan kami
akhirnya berakhir. Saya benar-benar lega dapat mempertahan nyawa saya. Dan ternyata
ini bukan akhir. Selanjutnya secara tiba-tiba saya berada pada tempat yang
sungguh benar-benar pada atmosfer tidak menyenangkan. Suasananya tidak menunjukkan
kedamaian hati. Ketika saya coba masuki, alangkah terheran dan terkejutnya saya
melihat banyak sekali kaum wanita yang terlihat sedih, beberapa menangis penuh
permohonan belas kasih. Semuanya murung dan lemas. Ada yang dalam posisi
berdiri lemas, duduk hingga mengesot di tanah penuh kesakitan. Saat saya ingin
menghampirinya, semuanya hilang dan kembali gelap.
Saya pun
terbangun, sejenak saya kembali memejamkan mata, mengingat kembali dan tubuh
saya ikut kaku serta merinding dalam kengerian. Saya akhirnya bangun, setelah
saya cek hp, saya cuma tertidur 5 menit untuk waktu yang cukup lama di mimpi
tersebut. Yah, tiada yang bisa saya lakukan dalam kengerian tersebut kecuali merenung
dalam-dalam apa yang sudah saya perbuat, sejuta permohonan ampun saya luapkan, kembali
merasakan kengerian dicabut nyawa. Sahabat, perlu diingat, butuh waktu beberapa
minggu untuk melepas rasa sakit di bagian perut kiri saya. Secara jelas selalu
terbesit dalam pikiran saya makhluk hitam besar itu menarik ruh saya. Menyentuh tubuh
ini. dan secara reflek, saya masih saja suka mengelur perut bagian kiri.
Sahabat,
sungguh secara jelas masih saya ingat kejadian tersebut. Hingga tiba teman saya
memberikan buku Tafsir Mimpi. Dan saya pun mulai membuka dan mencari. Ya,
betapa kagetnya saya melihat isi dan jawaban yang saya cari.
Dalam buku
tafsir mimpi dijelaskan, Jika bermimpi melihat malaikat maut itu bergembira,
ditakwilkan bahwa pelaku akan mati syahid. Jika malaikat maut berwajah cemberut
dan murka, ditakwilkan bahwa pelaku mimpi akan mati tanpa sempat bertaubat. Jika
bermimpi seolah-olah bergulat dengan malaikat maut berhasil mengalahkannya,
maka pelaku mimpi akan mati. Jika malaikat maut tidak
mengalahkannya, berarti dia nyaris mati lalu Allah menyelamatkannya.
Sahabat
sekalian... sungguh, merasa sangat beruntungnya saya setelah membaca buku ini.
Betapa bahagianya mengetahui akan hidup yang sudah diselamatkan Tuhan. Ya,
terlepas benar atau tidaknya mimpi ini.
Sahabat, bukan
tentang saya dan mimpi ini yang menjadi poin. Tapi, tentang kita semua,
bagaimana bisa menghindari malaikat maut dalam keadaan tidak tersenyum.
Bagaimana nanti kita mati dalam keadaan penuh persiapan, amal.
Mati bukanlah
proses singkat, yang tinggal mati dan tidak ada kehidupan setelahnya. Masih ada
proses pencabutan nyawa yang –sebagaimana pengakuan orang mati suri- rasanya
sangat sakit bak dikuliti dalam keadaan hidup-hidup. Masih harus melewati saat
malaikat datang membawakan pertanyaan dasarnya mengenai Siapa Tuhan kita?
sampai bagaimana salat kita? tentu sahabat tahu dan pernah dengar cerita ini
jika kita tidak bisa menjawabnya, murka malaikat tiada banding atas nikmat
dunia sementara menghantui sepanjang hidup di akhirat kelak. Tidak sampai di
sini sahabat. Masih ada perhitungan hisab atas amal ibadah. Melewati jembatan Siratal
Mustaqim yang mampu memasukkan kita ke neraka. Siksa neraka sebagaimana
pernah kita lihat zaman SD, lidah dipotoh, badan disetrika, kemaluan ditusuk
hingga tembus mulut, kepala diguyur lahar neraka, Nauzubillahi min zalik.
Sahabat, sungguh ngeri membayangkan ini semua. Tidakkah kita sedih, kelak, kita di dunia satu rumpun, satu perkumpulan, duduk dan tertawa bareng, akan tetapi nasib di akhirat berbeda. Kita hanya melihat orang yang kita kenal berbeda nasib dengan kita. Tak bisa kita saling menolong. Hanya ada dua pilihan, Neraka atau Surga.
Sahabat, sungguh ngeri membayangkan ini semua. Tidakkah kita sedih, kelak, kita di dunia satu rumpun, satu perkumpulan, duduk dan tertawa bareng, akan tetapi nasib di akhirat berbeda. Kita hanya melihat orang yang kita kenal berbeda nasib dengan kita. Tak bisa kita saling menolong. Hanya ada dua pilihan, Neraka atau Surga.
Sahabat
sekalian. Oleh karenanya, marilah sama-sama kembali meluruskan niat dalam
setiap aktivitas. Perbaiki dan munculkan niat guna pembekalan kita di akhirat
kelak. Tidak hanya memikirkan dunia saja. Mulailah dari sekarang saling cicil
kebaikan. Lakukan perubahan yang bertahap namun meningkat. Sungguh, tiada hal
sia-sia atas persiapan pembekalan kita untuk akhirat kelak. Semoga kita semua
dalam ampunan Allah SWT dan dalam lindungan-Nya.
Nabi Saw
bersabda: Orang cerdas adalah orang yang senantiasa berpikir dan berbuat
untuk setelah kematian.
Ingatlah, pastinya, kematian akan tiba dan datang tanpa membawa
pesan terlebih dahulu. Tidak pula bisa ditunda walau sesaat. Takutlah kita jika
kematian datang, sementara kita termasuk orang yang bergemilang dosa dan tanpa
bekal. Nauzubillahhi
min zalik.
Wallahu a’lamu
bishoaf.
Allahuma ajirni
minannar, Allahumma ajirni minannar, Allahumma ajirni minnar... Aamin.
Posting Komentar untuk "Ingatan Matiku: Oase Iman Buya Yahya"