“Ke mana Ayahmu?” Tanya Tuhan.
Duhai, ayah...
Ingatkah kau
Saat aku kecil,
Kau mengajarkanku salat
Kau memberitahuku pahala salat
Duhai ayah...
Bukankah ayah tahu.
Kewajiban seorang laki-laki,
Salat jamaah
Dan ibu, salat di rumah
Duhai ayah...
Aku malu, saat Tuhan bertanya padaku...
Ke mana ayahmu?
Ayahku sedang menoton TV,
Ayahku sedang tidur,
Ayahku sedang mengobrol dengan warga lainnya
Duhai ayah...
Bagaimana jika Allah marah padaku dan padamu?
Bagaimana jika Allah mendatangimu, hambanya?
***
Dimulai dari puisi di atas. Dan saya lanjutkan
dari perjalanan saya untuk sampai bisa menuliskan ini semua. Malam yang gelap,
diiringi dengan rintik hujan. Barangkali ini akan menjadi malam yang tidak
indah bagi saya. Rasanya, malam ini saya ingin buru-buru pulang dan membuka
laptop. Bukan ingin mengurusi skripsi yang sampai saat ini tak kunjung saya kerjakan.
Suasana di mana saya tidak akan lagi bisa
menikmati pemandangan malam ini. pemandangan manusia setengah jadi, anak-anak
kecil yang saling berbagi makanan di pinggir jalan, tukang ojek yang berebut
memanggil saya, tukang buah dan sayur yang sibuk merapikan dagangan mereka
untuk bersiap memulai aktivitas dagang mereka. Atau tukang kelapa yang sedang
mengupas batok kelapa, dengan irama ketuk yang berima. Tok, tok tok, tok...
begitulah bunyinya saat tukang kelapa itu mulai mengupas batok kelapa. Bukan satu,
melainkan tiga sampai lima orang yang mengupas. Hingga akhirnya terbentuklah
sebuha pola irama musik yang biasa saya nikmati.
Malam ini saya pastikan untuk pulang lebih sore,
dibandingkan biasanya. Biasanya, pukul 23:00 atau 00:00 saya baru pulang dari
kampus. Tapi, saat ini pukul 20:30 saya putuskan untuk pulang. Dengan langkah
seribu saya berpacu.
Akhir-akhirnya saya memang pulang tidak pulang menggunakan kendaraan. Alhasil, Saya harus pulang berjalan kaki dari kampus UIN sampe dengan komplek kedaung. Namun, karena suasana malam. Saya jadi menikmati itu semua. Tidak terasa panas, bising apalagi engap karena padatnya kendaraan.
Akhir-akhirnya saya memang pulang tidak pulang menggunakan kendaraan. Alhasil, Saya harus pulang berjalan kaki dari kampus UIN sampe dengan komplek kedaung. Namun, karena suasana malam. Saya jadi menikmati itu semua. Tidak terasa panas, bising apalagi engap karena padatnya kendaraan.
Sesambil, bukan lagi sesekali membuka HP melihat
group whatsapp. Saya membaca dan membalas keramaian di dalam layar kotak 4 inci
ini. keramaiannya mengalahkan bisingnya kendaraan jalan di malam hari. Dalam group
itu diobrolkan teman seorganisasi saya sebut saja John yang sudah
mendapatkan teman organisasi dengan usia yang lebih tua darinya. Alhasil,
penghuni group berceletuk untuk dia
“Pasti
sedang sujud syukur.”
“Jangan
sujud syukur dong. Sujud minta hujan aja,” tambah penghuni group lain.
Hoalah, saya tak sempat melihat langit mendung. Tak
sempat juga mencium aroma hujan. Saya pikirkan hanya pulang dan pulang. Dan jeng
jeng jeng... Benar saja, dalam perjalanan sampai di kantor kementrian agama
Ciputat tiba-tiba hujan. Hingga akhirnya, saya pun memutuskan untuk kembali saya MCD Ciputat, nongkrong sejenak menuliskan semua ini.
Sebelum sampai di kementrian agama. Saya mendapati
pemandangan tak unik, alias biasa aja buat saya. Ya, perjalanan awal saya
menangkap adik junior saya di organisasi yang sedang diapelkan. Saya hanya bisa
tersenyum tanpa menegur. Hehe... Saya tak mau jadi obat nyamuk orang ketiga
di sana.
Namun, dalam perjalanan segera saya buka layar hp
4 inci dan membuka whatsapp, segera saya mencari nama dengan inisial BEJ.
bertemulah. Dan saya ketik,
“Cie
yang lagi diapelin.” Whatsapp diterima. Whatsapp dibalas.
“Nape
lu? Iri? (dengan emot senyum naik sebelah).” Whatssapp diterima. Whatsapp dibalas.
“Haha.
Iri... (Dengan emot setan melet).” Whatssapp terkirim. Dan sampai saat itu
tidak lagi terbalas.
Perjalanan saya lanjutkan kembali. sampai pada
keluar gang semanggi jalan raya depan MCD Ciputat, tepat sebelah kiri dari arah
keluar gang saya temukan warteg. Dan bertemu dengan salah satu teman KKN saya. Kembali
saya buka HP, dan saya ketuk gambar whatssapp. Saya cari nama orang itu, sebut
saja Bryan.
“Cie
yang lagi di warteg.” Whatssapp dikirim. Whatsapp diterima.
“Antum
di mana kakak.”
“Haha
di MCD. Mau pulang ga jadi. Hujan... jadi ke sini dan mampirnya.”
“Weh...
mainlah ke kos. Ajak mas sebut saja Michael.”
Tiiiitttt
... sampai disitu HP saya sudah mati.
Sekian iklan di atas.
***
Sampai pada saya di MCD Ciputat, lantai 2. Dengan di
depan saya dua orang perempuan berkerudung, satu memakai kaca mata kuda yang
super besar. Di sebelah kanan saya sekelompok orang, tiga cewe dan tiga cowo
dan mereka berpasang-pasangan. Di belakang saya sekelompok orang juga dengan
jumlah yang lebih besar, lima cowo dan lima cewe. Agak kebelakang ada dua
pasangan, entah mereka doble date atau baru PDKT. Namun, posisinya
seperti itu.
Di sini, di lantai dua, samping toilet. Akhirnya,
saya bisa membuka laptop dan menuliskan kejadian yang sedikit membuat hati saya
bersedih.
Sekitar pukul 12 lewat. Azan zuhur dikumandangkan.
Selepas azan, saya tunaikan salat rawatib qabliyah zuhur di rumah. Selepasnya, saya
melaksanakan salat zuhur. Dalam takbir pertama saya bertakbir. Allahu akbar... sampai saya membaca fatihah dan surat pendek.
Pada bacaan surat pendek, pikiran saya mulai
terganggu.
“Kenapa
tidak salat jamaah saja di mushola?”
Batin dan pikiran saya mulai terganggu oleh salat
jamaah. Pada saat itu saya memang berniat untuk salat di rumah saja karena
ingin buru-buru pergi ke kampus. Ba’da zuhur, setelah melaksanakan salat
rawatib dan zuhur, saya langsung bergegas menemui seseorang untuk mendaftarkan
pelatihan menyetir mobil dan b.inggris. Namun, tidak disangka, dalam salat. Batin
dan pikiran saya tidak tenang karena dibujuk untuk salat jamaah.
Setelah takbir, pembacaan surat fatihah dan surat
pendek. Saya lanjutkan dengan rukuk... Pada saat itulah, saya putuskan untuk
membatalkan salat dan menuju mushala dekat rumah. Dan iqamah pun dikumandang.
Setelah menutup pintu rumah, saya bergegas menuju
mushala. Sesampai di sana. Tak nampak saya lihat pemandangan sendal jamaah. Ahh,
mungkin lewat gerbang samping, batin saya. Saya masuk melewati gerbang, dan
saya buka. Astagfirullah....
Entah harus marah pada siapa saya pada saat itu.
Tak nampak kumpulan orang dewasa yang sedang melaksanakan salat jamaah zuhur. Kegembiraan
hati saya karena akan melaksanakan salat jamaah, secara drastis berubah. Sedih dan
marah.
Bagaimana bisa, mushola yang cukup besar ini tidak
ada satu pun orang dewasa pun yang melaksanakan salat zuhur berjamaah? Saya hanya
melihat satu imam anak kecil dengan usia sekitar sebelas kebawah, dan jamaah
anak-anak yang usianya lebih kecil, mungkin masih menduduki bangku sekolah
dasar.
Pada saat itu, saya hanya bisa menyaksikan
kumpulan anak-anak polos itu yang melaksanakan salat jamaah. Nampak makmum yang
tengok kanan kiri berusaha menangkap kedatangan saya. Dan imam, yang sudah
sedikit terganggu berusaha juga ingin menengok kebelakang melihat siapa yang
datang. Namun, semua itu dapat ditahan oleh imam.
Ya Allah, Gusti....
Astagfirullah...
Sejenak saya menghela napas. Harus saya apakan
jamaah ini? saya bubarkan? Atau saya ikut mereka? Ahh, bodoh sekali kalau saya
ikut mereka. Baligh saja belum mereka. Pada akhirnya, saya putuskan untuk tidak
mengganggu posisi jamaah mereka. Dan pisahkan diri saya untuk melaksanakan
salat zuhur sendiri.
Setelah salat zuhur selesai, dalam benak seribu
sumpah serapah terucap kepada saya dan para ayah di sini. Ke mana ayah mereka?
ke mana warga setempat di sini? mengapa bisa anak-anak ini mengumandangkan azan
sendiri? salat jamaah sendiri? tidakkah kalian malu dengan ini semua?
Tidakkah kalian melihat. Mereka bertakbir, rukuk,
sujud tahiyat... mereka jalankan dengan penuh semangat dan ketidakmengertian
mengenai kekhusyuan salat. Tengok kanan, kiri, belakang. Dorong kanan, kiri.
Ya Allah Gusti...
Astagfirullahal adzim...
Ampunilah hambamu ini....
Ampunilah hambamu yang belum bisa berbuat apa-apa
pada kampung ini.
***
Duhai ayah... kaulah yang dahulu mengajarikku
salat. Sejak kecil kau tanamkan ilmu-ilmu agama pada anakmu ini. Kau suruh aku
bergegas ke masjid, dan berlomba-lomba mengumandangkan azan. Dengan bangga kau
sebut aku ankmu.
Duhai ayah... saat aku telah berhasil
mengumandangkan azan. Kau suruh aku untuk terus salat jamaah. Kau siapkan
sarung, koko dan peci. Kau kenakan pakaian rapi padaku. Kau suruh aku mengajak
teman-temanku untuk ikut salat jamaah. Agar dengan bangga, tetangga melihatku,
anak didikmu.
Duhai ayah... aku tak butuh itu. saat ini aku
butuh engkau untuk ikut denganku ayah. aku ingin kita berjalan bersama. Dengan sarung,
koko dan peci berjalan melewati rumah tetangga. Saling sapa dan saling mengajak
tetangga lainnya.
Duhai ayah... tahukah kamu dengan keadaan ini?
dapatkan kamu melihat ini semua? Wahai ayah... lihatlah anakmu ini. Saya hanya
salat jamaah bersama teman-teman. Ini sudah seperti saya sedang praktek salat
di TPA saja ayah. kami saling senggol, saling dorong. Tak ada yang menegur
kami.
Duhai ayah... tidakkah kamu sedih melihat keadaan
ini. Setidaknya, sedihlah dengan segala upaya pembangunan mushala ini. Butuh
uang banyak bukan untuk membangun ini semua. Sia-sialah mushala ini dibangun ayah.
Duhai ayah... saat kau melihat kami semua tertawa
selepas pulang salat. Apakah kamu tahu, kami semua tertawa dalam bingung. Kami bertanya,
tanya ayah. haruskah saya dan teman-teman, lagi dan lagi salat sendirian seperti
ini? tanpa orang dewasa. Ini seperti saat kita praktek ibadah salat ayah.
Duhai ayah... aku berharap kamu membaca ini semua.
Aku selalu berdoa pada Allah SWT. agar suatu saat, engkau tidak lagi menyuruhku
salat. Tapi, aku berdoa, agar nanti, engkau mengajakku salat bareng di mushala
itu. Mengajak ayah teman-temanku. Dan kita semua salat berjamaah, bersama
kalian. Ayah-ayah yang kami banggakan. Ayah yang dulu mengajarkan kami salat.
Ciputat, 19/3/15
Posting Komentar untuk "“Ke mana Ayahmu?” Tanya Tuhan."