Dialog Bisu dalam Kelu
Dan kutatap lekat-lekat mata gadis yang sayu itu. Kelopak matanya terlihat lelah, seolah beban berat sedang dipikulnya. Tapi apa?
Aku tak tahu. Begitulah yang kumengerti. Selalu kuanggap dialah gadis kuat. Mampu memikul beban berat. Hingga saat aku berkata, "Aku pergi."
Tiba-tiba matanya menatap nyalang memandangiku. Bukan seperti elang yang akan menerkam tikus dari ketinggian. Tapi, bagai anak kucing yang memelas minta ikan.
Kukatan lagi padanya, "Aku pergi."
Mata gadis itu berubah warna menjadi merah. Wajah manisnya menjadi sendu. Kilau pancaran matanya menjadi bendungan kaca yang siap pecah menumpahkan segala peliknya beban hidup.
Kita pun terdiam dalam tatapan lurus kedepan. Mencoba menelaah apa yang sedang dipikirkan. "Kau ingin bercerita apa?" begitu kataku.
Dan dia hanya diam seraya menganggukan kepala. Dan aku pun kembali duduk, merapikan kata-kata aku pergi untuk kuberikannya nanti. Barangkali kata-kata itu akan tepat kuberikan setelah kita bercerita.
Bersama rindu dan sendu dia bercerita. Dalam diam kami duduk saling pandang. Mencuri setiap celah pikiran yang keluar tak terjaga oleh sepi.
Waktu terus berdetak. Kami pun masih dalam duduk bersama diam. Bukan bisu, tapi kelu. Gadis itu malu, seolah aku bukan lagi seorang yang dia rindu.
Aku pun bosan. Kuberikan saja kata aku pergi kepada gadis itu. Kutinggalkan dia dalam diam. Bersama malam, yang mencengkeram.
Tangsel, 9 Oktober 2014
*****
Dan benarnya dia cerita, Tuan..
Gadis bermata sendu itu tumpah cakapnya
Tapi tak kau tangkap lirihnya
Persis semua selesai sebelum kau datang lagi
Singgah di mana kau tadi, Tuan
Cerita itu selesai hanya 3 detik sebelum telapakmu injak lantai rumah
Gadis yg berpayung sendu itu katamu, ia tak mengapa, Tuan
Sesungguhnya,
Diamnya
Adalah merenda waktu lagi nanti
Iya, Tuan..
Nanti dan mesti
Kita jumpa pikir dalam hilirnya siang dan malam.
Karena ini abdi, Tuan..
Abdi pada negeri.
Ciputat, 9 Oktober 2014
Nur Said Rahmatullah
Amalia Utami
Posting Komentar untuk "Dialog Bisu dalam Kelu"