Psikologi Agama: Perkembangan Agama pada Orang Dewasa
1. Psikologi
Agama pada Orang Dewasa
A. Pengertian dan Fase-Fase Dewasa
Seperti halnya
dengan remaja, untuk merumuskan sebuah definisi tentang kedewasaan tidaklah
mudah. Hal ini karena setiap kebudayaan berbeda-beda dalam menentukan kapan
seseorang mencapai status dewasa secara formal. Pada sebagian besar kebudayaan
kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai atau
setidak-tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak telah
mencapai kematangan serta mampu berproduksi. Dalam kebudayaan Amerika, seorang
anak dipandang belum mencapai status dewasa kalau ia belum mencapai usia 21
tahun. Sementara itu dalam kebudayaan Indonesia, seseorang dianggap resmi
mencapai status dewasa apabila sudah menikah, meskipun usianya belum mencapai
21 tahun.
Dilihat dari
pandangan psikologis, maka istilah dewasa dicirikan dengan kematangan, baik
kematangan kognitif, afektif maupun psikomotornya, yang mengacu kepada sikap
bertanggung jawab.
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang dapat disebut dewasa apabila telah
sempurna pertumbuhan fisiknya dan mencapai kematangan psikologis sehingga mampu
hidup dan berperan bersama-sama orang dewasa lainnya. Umumnya psikolog
menetapkan sekitar usia 20 tahun sebagai awal masa dewasa dan berlangsung
sampai sekitar usia 40-45 tahun, dan pertengahan masa dewasa berlangsung dari
sekitar usia 40-45 sampai sekitar usia 65 tahun, serta masa dewasa lanjut atau
masa tua berlangsung dari sekitar usia 65 tahun sampai meninggal.
B. Macam-Macam Kebutuhan
Manusia adalah
makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena
manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun
psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia
tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan.
Manusia juga
disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk
bertumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar
dirinya. Bantuan tersebut bisa berupa bimbingan dan arahan dari lingkungan
sekitarnya. Bimbingan dan arahan dalam perkembangan tersebut diharapkan sejalan
dengan kebutuhan manusia itu sendiri sesuai dengan potensi bawaannya. Jika
bimbingan dan arahan yang diberikan tidak searah dengan potensi yang dimiliki
maka bisa menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan manusia itu sendiri.
Perkembangan
yang negatif tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang
menyimpang. Bentuk tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan
kegagalan manusia untuk memnuhi kebutuhan baik yang bersifat fisik maupun
psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa
keagamaan, perlu terlebih dahulu dilihat kebutuhan-kebutuhan manusia secara
menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara kebutuhan
jasmani dan kebutuhan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam
perkembangan.
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Kriminal
Drs. Gerson W. Bawengan, S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia
berdasarkan pembagian sebagai berikut:
1.
Kebutuhan individual terdiri dari:
a.
Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut
tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan adanya
perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil dan
harmonis. Kebutuhan ini merliputi kebutuhan tubuh akan zat; protein, air,
garam, mineral, vitamin, oksigen dan lainnya.
b. Regulasi
temperatur, penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan
temperatur badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disebut
Hypothalmus. Ganguan regulasi temperatur akan menyebabkan tubuh mengalami
gangguan.
c. Tidur,
kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar gejala halusinasi.
d. Lapar,
kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energi tubuh sebagai
organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik maupun mental.
e. Seks,
kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan
mempertahankan jenis.
f. Melarikan
diri yaitu: kebutuhan manusia akan perlindungan dan keselamatan jasmani dan
rohani.
g. Pencegahan
yaitu: kebutuahan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi melarikan diri.
h. Ingin
tahu (curiosity) yaitu: kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu
mengetahui latar belakang kehidupannya.
i. Humor
yaitu: kebutuhan manusia untuk mengurangi rasa beban pertanggungjawaban yang
dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan.
2. Kebutuhan
sosial
Kebutuhan sosial manusia tidak disebabkan pengaruh
yang datang dari luar (stimulus) seperti layaknya pada binatang. Karena bentuk
kebutuhan pada manusia berbentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan sekedar
semata-mata kebutuhan biologis melainkan juga kebutuhan rohani.
Selanjutnya Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya
Peranan Agama dalam Kesehatan Mental membagi kebutuhan manusia atas 2 kebutuhan
pokok, yaitu:
a. Kebutuhan Primer, yaitu kebutahan
jasmaniah
b. Kebutuhan
Sekunder atau kebutuhan rohaniah: Jiwa dan sosial. Kebutuhan ini sudah
dirasakan manusia sejak masih kecil.
Selanjutnya beliau membagi kebutuhan sekunder
yang pokok menjadi 6 macam, yaitu:
1) Kebutuhan
akan rasa kasih sayang
Kurangnya rasa kasih sayang pada diri seseorang
terutama pada anak-anak akan menyebabkan tembok pemisah antara mereka dengan
orang tuanya.
2) Kebutuhan
akan rasa aman
Tidak adanya rasa aman menyebabkan seseorang
terganggu sikap integritas dirinya dengan masyarakat dan lingkungannya.
3) Kebutuhan
akan rasa harga diri
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang bersifat
individual. Diabaikannya kebutuhan akan rasa harga diri ini cenderung
menimbulkan sikap menyombongkan diri, ngambek, dan sebagainya.
4) Kebutuhan
akan rasa bebas
Penyakuran rasa bebas ini merupakan upaya agar
tercapai perasaan lega. Kehilangan rasa bebas akan menyebabkan seseorang
menjadi gelisah, tertekan baik fisik maupun mental.
5) Kebutuhan
akan rasa sukses
Penyaluran kebutuhan ini akan menambah rasa
harga diri. Pemberian tugas yang sesuai dengan kemampuan dan pengganjaran batin
(remneration) merupakan usaha untuk menyalurkan rasa sukses.
6) Kebutuhan
akan rasa ingin tahu
Kebutuhan akan rasa ingin tahu akan memenuhi
kepuasan dalam pembinaan pribadi seseorang. Kebutuhan ini jika tidak disalurkan
akan terarah kepada tindakan-tindakan negatif yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Kebutuhan
manusia akan agama
Selain berbagai macam kebutuhan yang disebutkan
diatas masih ada lagi kebutuhan manusia yang sangat perlu diperhatikan yaitu
kebutahan terhadap agama. Karena manusia disebut sebagai makhluk yang beragama
(homo religious).
Manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang
disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang
mengakui adanya yang maha kuasa tempat mereka berlindung dan memohon
pertolongan. Hal semacam ini terjadi pada masyrakat moderen, maupun masyarakat
primitif.
C. Perkembangan Beragama pada Orang
Dewasa
Dengan
berakhirnya masa remaja, maka berakhir pulalah kegoncangan-kegoncangan jiwa
yang menyertai pertumbuhan remaja itu. Yang berarti bahwa orang yang telah
melewati usia remaja, mempunyai ketentraman jiwa, ketetapan hati dan
kepercayaan yang tegas, baik dalam bentuk positif, maupun negatif. Kendatipun
demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari, masih banyak orang yang merasakan
kegoncangan jiwa pada usia dewasa. Bahkan perubahan-perubahan kepercayaan dan
keyakinan kadang-kadang masih terjadi saja. Keadaan dan kejadian-kejadian itu,
sangat menarik perhatian ahli agama, sehingga mereka berusaha terus-menerus
mengajak orang untuk beriman kepada Allah dan berusaha memberikan pengertian-pengertian
tentang agama.
Charlotte
Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, dan periode
pubertas dan periode adoselen dengan semboyan yang merupakan ungkapan batin mereka.
Di periode prapubertas oleh Charlotte Buchler dengan kata-kata: “Perasaan saya
tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya”. Untuk periode pubertas
dilukiskannya sebagai berikut: “Saya ingi sesuatu, tetapi tidak tahu ingin akan
apa”. Adapun dalam periode adoselen, ia mengemukakan dengan kata-kata: “Saya
hidup dan saya tahu untuk apa”.
Kata-kata yang
digunakan Charlotte Buchler tersebut mengungkapkan betapa masih labilnya
kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang remaja dan di usia
remaja mereka. Sebaliknya saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya
kemantapan jiwa mereka: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa”, menggambarkan
bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari
makna hidup. dengan perkataan lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai
yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Orang dewasa sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap.
Sikap
keberagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas
nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu sikap keberagamaan ini umumnya juga
dilandasi oleh pendalaman pengertian dan perluasan pemahaman tentang ajaran
agama yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup
dan bukan sekadar ikut-ikutan.
Kestabilan
dalam pandangan hidup beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah
kesetabilan yang statis. Melainkan kestabilan yang dinamis, di mana pada suatu
ketika ia mengenal juga adanya perubahan-perubahan. Adanya perubahan itu
terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan
mungkin karena kondisi yang ada.
Sejalan dengan
tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara
lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan
pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekadar ikut-ikutan.
2. Cenderung
bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam
sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap
positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari
dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama
didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan
merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap
lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
6. Bersikap
lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati
nurani.
7. Sikap
keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing,
sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta
melaksanakn ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat
adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga
perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
2.
Psikologi Agama pada usia lanjut
A. Pembahasan
Pada tahap kedewasaan awal terlihat krisis psikologi yang dialami oleh
karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengetratkan hubungan
dengan kecenderungan untuk mengisolasi diri. Terlihat kecenderungan untuk
berbagi perasaanbertukar pikiran dan memecahkan berbagai problema kehidupan
dengan orang lain ( Rit Atkinson, 1983: 97).
Mereka yang menginjak
usia ini (sekitar 25-40 Th) memiliki kecenderungan besar untuk berumah tangga,
kehidupan sosial yang lebih luas serta memikirkan masalah-masalah agama yang
sejalan denganlatar belakang kehidupannya.
Selajutnya pada tingkat
kedewasaan menengah (40-65 th) manusia mencapai puncak periode usia yang paling
produktif. Tetapi dalam hubungannya dengan kejiwaan, maka pada usia ini terjadi
krisis akibat pertentangan batin antara keinginan untuk bangkit dengan
kemunduran diri. Karena itu umumnya pemikiran mereka tertuju pada upaya untuk
kepentingan keluarga, masyarakat dan generasi mendatang.
Adapun di usia
selanjutnya yaitu setelah usia di atas 65 tahun manusia akan menghadapi
sejumlah permasalahan. Permasalahan pertama adalah penurunan kemampuan fisik
hingga kekuatan fisik berkurang, aktifitas menurun, sering mengalami gangguan
kesehatan yang menyebabkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu,
mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi,
karena dari fisik dan tenaganya sudah berkurang sehingga tidak mampu lagi untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang biasa mereka lakukan sewaktu usia dewasa.
Adapun sikap
keberagamaan pada usia lanjut justru mengalami peningkatan dan untuk proses
seksual justru mengalami penurunan.
Berbagai latar belakang
yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut,
secara garis besar ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah :
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai
tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan
akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung
mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat
luhur.
5. Timbul rasa takut kepada
kematian yang meningkat sejalan dengan usia yang bertambah lanjut .
B. Perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam
Manusia usia lanjut
dalam penelitian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi.
Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur
ini berbagai macam penyakit sudah siap untuk menggerogoti mereka. Dengan
demikian di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka
berada pada sisa umur menunggu datangnya kematian .
Menurut Lita L . Atkinson,
sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak
merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi
perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi
psikologi .
Kajian psikologi berhasil
mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka
mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada
kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia tua ini, perhatian
mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin. Sejalan dengan
perubahan itun, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akherat
mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini
diantaranya disebabkan oleh pengaruh psikologis. Di satu pihak kemampuan
fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan. Sebaliknya di pihak lain,
memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka di masa lalu yang
pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian, Karena secara fisik
mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan
kegelisahan-kegelisahan batin.
Apabila gejolak-gejolak
batin tidak dapat di bendung lagi, maka muncul sebagai wujud rasa rendah
diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti
ini, umumnya gangguan kejiwaan seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan
diri dari pergaulan agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat.
Sebab melalui ajaran pengamalan agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh
tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah
jamak terlihat di masyarakat akhir-akhir ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. 1970. Ilmu Jiwa Agama.
Jakarta: PT Bulan Bintang.
Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Mubin, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan.
Ciputat: Quantum Teaching.
Ramayulis. 2007. Psikologi Agama.
Jakarta: Radar Jaya.
Posting Komentar untuk "Psikologi Agama: Perkembangan Agama pada Orang Dewasa"